counter create hit Kepemimpinan dan Budaya Lembaga Dakwah

Iklan

Iklan

,

Iklan

Kepemimpinan dan Budaya Lembaga Dakwah

Administrator
9 Mei 2024, 17:34 WIB Last Updated 2024-05-09T10:34:33Z


Jhon F. dan Robert B. dalam buku Public Management, memaparkan bahwa kepemimpinan adalah seni untuk mengatur seseorang dan masyarakat serta mendorong semangat mereka untuk mecapai tujuan yang ditetapkan

 

Manajemen Dakwah memandang bahwa kepemimpinan dapat dimaknai dengan upaya seorang pemimpin untuk mendorong orang lain untuk mengikuti arahan yang diberikan, sehingga dapat mencapai tujuan dan visi dakwah. Kepemimpinan dakwah adalah kemampuan menggerakkan dan memengaruhi seseorang untuk mencapai visi dakwah. Agama Islam telah mendefinisikan kata pemimpin secara implisit, sebagaimana yang termaktub dalam QS. al-Baqarah ayat 30:

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةًۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ 

Artinya: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat; ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi’. Mereka berkata; ‘apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?’ Allah berfirman; sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. al-Baqarah ; 30).

 

Ayat ini menerangkan bahwa Allah SWT akan menempatkan manusia di tempat yang sangat tinggi dibandingkan dengan makhluk lain serta memberikan tanggung jawab kepada manusia sebagai khalifah. Meskipun para malaikat saja mengeluh tentang kekhalifahan yang akan diciptakan oleh manusia di bumi, manusia seharusnya menjalankan tanggung jawab itu dengan sebaik mungkin.

 

Ar-Razi mengatakan bahwa pengertian khalifah dalam ayat di atas mempunyai dua maksud; pertama, Allah menunjuk Adam yang nanti akan menggantikan Jin untuk menduduki dunia setelah Jin meninggalkan bumi. Kedua, Adam (umat manusia) adalah penguasa bumi, bertindak sebagai pengganti Allah dalam menegakkan hokum-hukumNya di muka bumi.

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا 

 

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).” (QS. An-Nisa’ : 59).

 

Pada dasarnya, ayat al-Qur'an memerintahkan manusia untuk patuh terhadap Allah SWT, Rasulullah, dan Ulil Amri. Jika terdapat perselisihan, maka selesaikan dengan cara yang diajarkan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah. Para ulama berpendapat berbeda tentang Ulil Amri. Mereka memandang bahwa khalifah itu adalah pemerintah atau pengusa, ulama, atau orang yang mewakili masyarakat di organisasi dan tempat kerja. Selain itu, Rasulullah SAW menyatakan bahwa manusia dapat patuh terhadap makhluk jika perintahnya sesuai dengan hukum Islam dan tidak membuat kedurhakaan. Namun, jika makhluk itu mengajak kepada kemaksiatan, maka tidak boleh menurutinya.

 

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW., bersabda; “Seorang Muslim wajib mendengarkan dan patuh atau taat terhadap perintah yang disukai maupun tidak di sukainya. Kecuali bila di perintahkan mengerjakan kemaksiatan, maka ia tidak wajib mendengarkan dan taat.” Hadist ini menunjukkan bahwa ajaran Islam memperhatikan semua aspek kehidupan umat Islam, termasuk menaati pemerintah atau penguasa jika itu sesuai dengan syariat Islam dan larangan untuk menaati jika mereka melakukan dosa. Rasulullah SAW., sebagai sosok yang patut diteladani segala kehidupannya, begitupun dalam kepemimpinan.

 

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ 

Artinya: Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.(QS. Al-Ahzab : 21).

 

Rasulullah SAW memiliki empat sifat yang menjadikannya sukses dan dapat dipercaya oleh banyak orang. Secara umum, sifat-sifat ini dimiliki dan dicontohkan oleh para pemimpin yang mengidolakan Rasulullah:

a.    Shiddiq, artinya jujur. Rasulullah SAW benar-benar mengakui bahwa kebenaran berasal dari Allah SWT, sehingga setiap atau semua Qoulan (ucapan), Fi'lan (perilaku), diam, bahkan emosinya adalah benar.

b.   Amanah (bisa dipercaya), Rasul tidak pernah menambah atau mengurangi berita yang harus diberitahukan kepada umatnya; beliau hanya mengatakan apa yang benar dan jelas.

c.    Thabligh (berbicara). Kata “Tabligh” berasal dari kata Balagha, yang berarti “sampai” atau “menyampaikan informasi.” Dalam konteks kepemimpinan, tabligh bahkan memiliki arti membuka pintu, mendorong hal-hal baik, dan mencegah hal-hal yang mungkar (Amar Ma'ruf Nahi Munkar). Pemimpin harus berani mengatakan kebenaran, mengakui kesalahan , dan tidak berpura-pura tahu.

d.   Fathanah berarti cerdas. Cerdas dibangun dengan keyakinan pada Allah SWT dan memiliki kemampuan teruji untuk memecahkan masalah dengan cepat, tepat, dan responsif terhadap setiap masalah.

 

Budaya organisasi mudah berubah-ubah dan akan selalu menyesuaikan diri dengan kultur lingkungan, baik itu datang dari internal maupun eksternal. Fungsi budaya organisasi dalam aktivitas dan program di lembaga dakwah menunjukkan bagaimana budaya organisasi mempengaruhi perilaku anggotanya. Budaya, adalah budi atau akal manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia perlu berinteraksi dengan orang lain, interaksi inilah yang terkadang menimbulkan konflik. Untuk mengurangi konflik, hadirlah aturan dan norma yang disebut dengan etika. Etika akan terus berkembang menjadi norma kolektif hingga menjadi kebudayaan.

 

قُلْ كُلٌّ يَّعْمَلُ عَلٰى شَاكِلَتِهٖۗ فَرَبُّكُمْ اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ اَهْدٰى سَبِيْلًا

Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing.” Maka, Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (QS. Al-Isra’ : 84).

اِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتّٰىۗ

Artinya: “Sesungguhnya usahamu benar-benar beraneka ragam” (QS. al-Lail 4).

 

Kedua dalil ini menerangkan bahwa setiap orang memiliki kemampuan jika dilihat dari aspek bio, psiko, sosial, dan spiritual. Inilah kemampuan dasar yang unik, berbeda dari orang lain dan termasuk juga di dalamnya cara mereka bekerja di organisasi. Akidah, Akhlak, dan Ilmu adalah tiga komponen utama kebudayaan Islam. Al-Quran dan hadits harus menjadi sumber budaya Islam. Oleh karena itu, setiap aktivitas budaya harus mengarah pada ajaran agama, menyeimbangkan kebutuhan duniawi (materi) dan ukhrawi (non-materi). 

 

Dalam Islam, sering dikenal dengan istilah "at-tanzhim" adalah lembaga atau organisasi yang bertujuan untuk mencapai keilmuan. Lembaga bukan hanya sebuah wadah, melainkan sebuah proses yang dilakukan dengan cara yang terorganisir, efisien, dan efektif. Dalam sebuah lembaga, pekerjaan harus dibagi berdasarkan bidang dan tanggung jawab. Oleh karena itu, Allah berfirman dalam al-Qur'an:

اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِهٖ صَفًّا كَاَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَّرْصُوْصٌ

Artinya: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam satu barisan, seakan-akan mereka suatu bangunan yang tersusun kokoh”  (QS. ash-Shaff : 4).

 

Ayat di atas menerangkan bahwa setiap organisasi atau lembaga harus seperti bangunan yang kokoh. Semua orang di dalamnya harus bekerja sama untuk mencapai tujuan organisasi. Jika organisasi tidak memiliki satu intruksi yang kuat, maka visinya tidak akan tercapai atau bahkan akan runtuh. Menurut Muhammad Natsir, dalam dakwah, seseorang berusaha menanyakan pandangan dan tujuan hidup manusia di dunia kepada individu dan masyarakat umum. Ajakan ini mencakup amar ma'ruf nahi munkar melalui berbagai macam sarana dan berbagai cara yang diperbolehkan agama, baik dalam membimbing manusia untuk menjadi lebih baik, membangun rumah tangga, bernegara, maupun berkomunitas.

 

Lembaga dakwah adalah organisasi yang bergerak di bidang ke-Islaman. Sesuai dengan surat keputusan Kemenag No. 6 Tahun 1979 tentang struktur lembaga atau organisasi departemen agama dan lembaga dakwah, lembaga juga merupakan sarana fungsional ajaran Islam. Semua lembaga Islam, baik lokal, daerah maupun nasional. Menurut keputusan menteri agama, ada empat kelompok lembaga dakwah: Instansi Dakwah, Majelis Ta'lim, Pengajian, dan Organisasi Kemakmuran Masjid dan Mushollah. Beberapa organisasi dakwah antara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Front Pembela Islam (FPI), Al-Washliyah, Dewan Masjid Indonesia (DMI), Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII).

 

Kepemimpinan dan budaya lembaga dakwah ini adalah tentang sebuah konsep kepemimpinan lembaga dakwah yang berjalan sesuai dengan aturan al-Qur’an serta berkiblat pada sang panutan yakni Rasulullah SAW., dalam mengelola lembaga dakwah dengan begitu rapih walaupun di tengah beragamnya budaya para mad’u, akan tetapi dengan kematangan leadership qur’ani, maka segala rangkaian dakwah bisa dicapai dan berjalan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. 

 

Setiap pemimpin memiliki visi dan tujuan yang harus diikuti oleh karyawannya. Jika pemimpin memberi contoh yang baik, kebiasaan akan menjadi budaya jika bawahan dan pemimpin mereka mengimplementasikannya. Rasulullah SAW berhasil membangun budaya Islami dengan lemah lembut. sudah selayaknya para pemimpin lembaga dakwah menerapkan konsep kepemimpinan yang sesuai dengan aturan moral, dalam hal ini bagi yang beragama Islam, maka lakukanlah kerja-kerja dakwah dengan berdasar prinsip qur’ani. Kita bisa memulai dari hal-hal yang dianggap kecil; jujur, tepat waktu, bertanggungjawab, musyawarah serta berintegritas untuk menghasilkan tujuan dakwah yang efektif dan efisien, dan juga mampu mengelaborasikan antara nilai kepemimpinan, dakwah dan budaya masyarakat yang sangat beragam.

 

Penulis:

a.    Akmalul M. Katili, S.Sos.

b.   Muhammad Firdaus, Lc., MA, Ph.D.

c.    Dr. Cecep Castrawijaya, M.A.

Iklan