counter create hit Inilah Langkah Manajemen Mutu Persyarikatan Muhammadiyah

Iklan

Iklan

,

Iklan

Inilah Langkah Manajemen Mutu Persyarikatan Muhammadiyah

Administrator
7 Mei 2024, 10:48 WIB Last Updated 2024-05-07T03:57:00Z

 


LANGKAH MANAJEMEN MUTU PADA PERSYARIKATAN MUHAMMADIYAH DALAM MENJAGA KUALITAS KADER DAN ANGGOTA
 

Seluruh kaum muslimin di dunia sudah banyak yang memahami dan mengerti betapa ada perbedaan yang signifikan antara amalan kebaikan dan dakwah yang terorganisir dengan yang tidak terorganisir yakni masing-masing individual mengerjakan sendiri-sendiri. Indonesia salah satu negara yang ikut berkontribusi dalam mengelola dakwah dan kegiatan masyarakat muslim dengan rapih dan tertata. Contohnya dalam masalah Haji, pada saat dikelola dengan baik secara profesional oleh Kementrian Agama dalam hal ini  Direktur Jenderal Haji Prof. Dr Hilman Latief yang terus meningkatkan kinerja mutu para petugas haji yang bertugas setiap tahunnya.


Proses menjaga dan memastikan mutu kinerja tersebut, tentu dibutuhkan proses manajemen untuk mencapai tujuan tertentu yang memerlukan suatu perencanaan, pemikiran, pengaturan dan pengarahan agar dapat berjalan dengan baik serta memerlukan penggabungan seluruh potensi yang ada secara efektif dan efisien, sebagaimana definisi ini yang tertuang dalam jurnal yang berjudul Manajemen Mutu Dalam Perspektif Islam hal 2 oleh Dian dan Anisa Wahyuni.
 

Adapun makna mutu sendiri didefinisikan oleh Dr. Suyud Margono yang dinukil pada Buku Ajar Manajemen Mutu Terpadu hal 8 mengatakan bahwa mutu adalah jasa pelayanan atau produk yang menyamai atau melebihi kebutuhan dan harapan pelanggan. Pendapat ini lebih menekankan kepada pelanggan yaitu, apabila suatu pelanggan mengatakan sesuatu itu bermutu baik, maka barang/jasa tersebut dapat dianggap bermutu.
 

Dengan kata lain, ini merupakan langkah yang disimpulkan menjadi Konsep Manajemen Mutu biasa disebut di sumber ilmiah dengan Total Quality Management (TQM) atau Integreated Quality Control yang dalam bahasa (istilah) Indonesia disebut Total Manajemen Mutu atau Manajemen Mutu Terpadu (MMT). Ide TQM atau MMT ini muncul pertama kali di Amerika Serikat, tetapi kemudian diorganisasikan dan dilaksanakan di beberapa perusahaan di Jepang. Khususnya setelah Perang Dunia ke II

{Saida Gani, Penerapan Manajemen Mutu Terpadu Pada Lembaga Dakwah, (Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 15, No. 1, Juni 2014 : 25 – 34), hal 27}.
 

Tjiptono dan Diana pada buku “Total Quality Management” di edisi IV menuliskan bahwa Manajemen Mutu Terpadu (MMT) merupakan perpaduan semua fungsi dari perusahaan ke dalam falsafah holistik yang dibangun berdasarkan konsep kualitas, teamwork, produktivitas dan kepuasan pelanggan. MMT merupakan sistem yang mengangkat mutu sebagai strategi usaha dan berorientasi kepada kepuasan pelanggan dan melibatkan seluruh anggota organisasi. MMT adalah suatu pendekatan untuk menjalankan bisnis yang berusaha untuk memaksimalkan persaingan sebuah organisasi melalui perbaikan yang terus-menerus atas mutu produk, jasa, orang, proses, dan lingkungannya.

{ Tatang Ibrahim dan Rusdiana, Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), Cet 1 (Bandung: YRAMA WIDYA, 2021), hlm 20 }
 

Menurut Hensler dan Brunell dalam Fandy Tjiptono & Anastasia Diana bukunya “Total Quality Management“ halaman 14-15, ada 4 prinsip utama dalam Total Quality Management. Keempat prinsip tersebut adalah :

  •     Kepuasan Pelanggan
  •     Respek terhadap setiap orang  
  •     Manajemen berdasarkan fakta
  •     Perbaikan Berkesinambungan


{ Andrea Hilmawan Apriliansyah, MANAJEMEN MUTU TERPADU LEMBAGA DAKWAH (Studi Kasus Manajemen Mutu ISO 9001:2008 pada Yayasan Nurul Hayat Surabaya), (Surabaya, Tesis Pascasarjana UIN Sunan Ampel, 2017), hal 27 }
 

Kehadiran konsep Manajemen Mutu ini sebagai jawaban atas kebutuhan akan mutu tersebut. Suatu produk dibuat semaksimal atau seoptimal mungkin agar dapat memenuhi kebutuhan dan harapan customer. Karena kondisi dakwah dan organisasi masyarakat muslim saat ini masih banyak mengahadapi kesulitan dalam memahami kekuatan dan manfaat konsep manajemen mutu dalam memenuhi mutu dan kinerja para praktisi di organisasi dakwah. Pada hakikatnya, konsep manajemen mutu ini lebih merujuk pada sebuah pendekatan, sebuah sistem, sebuah alat, sebuah teknik dan atau filosofi yang ditujukan untuk mencapai target kualitas tertentu.

Maka upaya dalam meningkatkan generasi penerus bangsa konsep manajemen mutu ini sangatlah dibutuhkan secara darurat agar tersampaikan bekal yang cukup, tidak hanya mengenai agama namun juga pengetahuan lainnya dalam mensukseskan seluruh program yang ditentukan oleh seluruh ormas.
 

Cukup banyak ormas dan lembaga dakwah di Indonesia yang berkontribnusi dalam meningkatkan mutu kinerja kader dan anggotanya menjadi lebih profesional khususnya disetiap program dakwah yang direncanakan. Persyarikatan Muhammadiyah salah satu ormas terbesar dan memiliki cabang serta rantingnya di penjuru daerah menjadi salah satu  lembaga atau organisasi dakwah yang ikut andil berkomitmen dalam menjadikan dan menjaga mutu para kader dan anggotanya lebih profesional dan cerdas dalam menjalankan semua tugas dakwah baik di Pimpinan Pusat maupun di paling bawah yaitu Pimpinan Ranting.
 

Setidaknya dari banyak program yang sudah dijalankan, ada 2 program besar yang menjadi faktor terbesar dalam menunjang peningkatan mutu kinerja para kader dan anggotanya dengan manajerial yang tersistematis yaitu Darul Arqam dan Musyawarah.
 

1.     Darul Arqam
 

Sebagaimana yang dilansir dari Majalah Suara Muhammadiyah Edisi 17 Tahun 2021, disebutkan bahwa Darul Arqam adalah suatu bentuk sistem perkaderan Muhammadiyah yang berorientasi pada pembinaan ideologi dan kepemimpinan untuk menciptakan kesamaan dan kesatuan sikap, integritas, wawasan dan cara berpikir di kalangan pimpinan maupun anggota Persyarikatan dalam memahami dan melaksanakan misi Muhammadiyah. Darul Arqam sebagai satu bentuk sistem perkaderan dilaksanakan dalam satu rangkaian yang terpadu antara unsur-unsur yang terkandung di dalamnya meliputi tujuan,peserta, kurikulum, metode, waktu, proses, instruktur/pelatih. Nara sumber, organisasi pelaksanaan dan faktor sarana serta prasarana sehingga dapat mencapai tujuannya.

{ https://web.suaramuhammadiyah.id/2023/05/04/sejarah-darul-arqam/ diakses 14 April 2024 jam 23:51.}
 

Sistem Perkaderan Muhammadiyah dengan bentuk Darul Arqam diilhami oleh langkah pembinaan kader dalam sejarah Islam yang dilakukan Rasulullah ﷺ di rumah Al-Arqam bin Abil Arqam, salah seorang sahabat yang termasuk “As Sabiqunal Awwalun”(para pelopor yang pertama masuk Islam). Di rumah Al-Arqam (Darul Arqam) yang terletak di bukit Shafa itulah Rasulullah selama dua tahun (ke-5 sampai ke-7 sejak diutusnya Muhammad sebagai Rasulullah) membina orang-orang Islam yang pertama kali masuk Islam dimasa Mekkah.
 

Dalam Muhammadiyah, sistem perkaderan Darul Arqam yang dimotivasi oleh kehendak meneladani apa yang telah dilakukan Rasulullah dalam membina kader umat Islam itu, secara resmi dan  terprogram merupakan amanat keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 yang pelaksanaannya di bawah tanggung jawab Badan Pendidikan Kader. Sejak itulah Darul Arqam merupakan salah satu bentuk sistem perkaderan dalam Muhammadiyah yang bersifat baku, meskipun konsep maupun pelaksanaannya dari hasil keputusan Muktamar ke-37 dan yang selama ini dipakai masih perlu disempurnakan dan dikembangkan sesuai dengan tuntutan yang dihadapi sekarang ini.
 

2.     Permusyawaratan

 

Ada banyak pergerakan, lembaga dakwah dan ormas yang memiliki kekuatan politik dan kesiapan finansial namun berakhir punah. Apalagi jika lembaga tersebut hasil perselingkuhan antara birokrat dan korporat yang sarat dengan intrik dan kepentingan pribadi. Mereka tidak mampu menyelesaikan selisih pendapat dan benturan kepentingan. Banyak juga organisasi yang dalam pelaksanaan musyawarahnya berujung saling lempar kursi, adu mulut sumpah serapah, atau meninggalkan ruang sidang.
 

Persyarikatan Muhammadiyah menerapkan faktor terbesar dalam menanggulangi masalah tersebut dengan budaya musyawarah. Sejak awal berdirinya pada 1912 hingga kini, Muhammadiyah sudah pernah mengadakan permusyawaratan tertinggi sebanyak 47 kali. Pada tahun-tahun pertama istilah musyarawah ini menggunakan Bahasa Belanda, yaitu “Algemene Vergadering” atau “Jaarvergadering”. Di tahun-tahun selanjutnya menggunakan istilah “Perkumpulan Tahunan”, “Congres”, dan terakhir yang sampai saat ini masih digunakan “Muktamar”.

{ https://muhammadiyah.or.id/2021/09/teduhnya-budaya-musyawarah-di-muhammadiyah/ diakses 26 Maret 2024 jam 10:37 }
 

Dalam Anggaran Dasar (AD) Muhammadiyah di BAB IX PERMUSYAWARATAN, Muhammadiyah menerapkan 8 bentuk musyawarah dengan menitik beratkan konsep manajemen mutu pada evaluasi organisasi, proker, anggota dan penguatan pemimpin selanjutnya agat mutu semua program, kegiatan, SDM dan amal usaha Muhammadiyah tetap utuh dan berkembang dengan baik dan sempurna. Permusyawaratan dengan 8 bentuk tersebut antara lain :

1)     Muktamar : Permusyawaratan tertinggi dalam Muhammadiyah yang diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Pusat.

2)     Muktamar Luar Biasa : Muktamar darurat disebabkan oleh keadaan yang membahayakan Muhammadiyah dan atau kekosongan kepemimpinan, sedang Tanwir tidak berwenang memutuskannya.

3)     Tanwir : Permusyawaratan dalam Muhammadiyah di bawah Muktamar, diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Pusat.

4)     Musyawarah Wilayah : Permusyawaratan Muhammadiyah dalam Wilayah, diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Wilayah.

5)     Musyawarah Daerah : Permusyawaratan Muhammadiyah dalam Daerah, diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Daerah.

6)     Musyawarah Cabang : Permusyawaratan Muhammadiyah dalam Cabang, diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Cabang.

7)     Musyawarah Ranting : permusyawaratan Muhammadiyah dalam Ranting, diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Ranting.

8)     Musyawarah Pimpinan : Permusyawaratan Pimpinan dalam Muhammadiyah pada tingkat Wilayah sampai dengan Ranting yang berkedudukan di bawah Musyawarah pada masing-masing tingkat.
 

Pada pasal pasal ke 30, disebutkan bahwa Keabsahan Musyawarah tersebut dalam pasal 22 sampai dengan pasal 29 kecuali pasal 23 dinyatakan sah apabila dihadiri oleh dua pertiga anggotanya yang telah diundang secara sah oleh Pimpinan Muhammadiyah di tingkat masing-masing. Dan Keputusan Musyawarah tersebut diusahakan dengan cara mufakat. Apabila keputusan secara mufakat tidak tercapai maka dilakukan pemungutan suara dengan suara terbanyak mutlak.

 

==========================
Tugas Artikel untuk Media Online
Penulis : Irfan Syuhudi, B.A
Magister Manajemen Dakwah
UIN Syarif Hidayatuullah, Jakarta


Iklan