counter create hit LPG Subsidi Langka, Kebetulan atau Disengaja?

Iklan

Iklan

,

Iklan

LPG Subsidi Langka, Kebetulan atau Disengaja?

Administrator
23 Agu 2023, 21:46 WIB Last Updated 2023-08-23T14:46:31Z


LPG Subsidi Langka, Kebetulan atau Disengaja?
Oleh Tresna Mustikasari, Muslimah Penggiat Literasi

Di sejumlah daerah seperti di Magetan, Banyuwangi, dan sejumlah wilayah di Pulau
Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi, dikabarkan telah mengalami kelangkaan LPG (Liquefied
Petroleum Gas) 3 kg bersubsidi, atau sering dikenal gas melon. Menurut Nicke Widyawati,
direktur Utama PT Pertamina (Persero), kelangkaan terjadi karena peningkatan konsumsi.
Namun, menurutnya peningkatan konsumsi itu tidak tepat sasaran, lebih dari 20% pengguna
gas melon tersebut tidak termasuk rumah tangga penerima subsidi. Oleh karenanya, ada
kemungkinan pengetatan dalam proses pembelian gas melon bersubsidi ini dengan
penunjukkan KTP saat membelinya.

Di sisi lain, di rentang waktu yang sama pemerintah pun meluncurkan produk Bright Gas
3 kg Non Subsidi. Harganya jauh lebih mahal dari harga subsidi. Gas melon 3kg dibandrol sekitar
Rp 20.000,- sedangkan Bright Gas 3 kg dibandrol sebesar Rp 54.000,-. Namun dengan selisih
harga yang sangat jauh, kualitas gas sama saja, perbedaan hanya terletak pada jenis tabung
yang digunakan dengan klaim keamanan yang lebih terjamin.

Pertanyaannya, benarkah gas melon sedang langka? Ataukah kejadian ini disengaja?
Ternyata usut punya usut, pemerintah saat ini sedang menggencarkan pengalihan penggunaan
gas LPG menjadi listrik dengan dalih lebih hemat dan lebih ramah lingkungan. Hal ini terlihat
dari berbagai upaya yang dilakukan pemerintah selama ini, mulai dari peluncuran kompor
listrik, promo-promo penaikan daya listrik, pembagian Rice Coocer gratis, subsidi kompor gratis,
dan lain-lain. Dengan langkanya gas melon, lalu Bright Gas pun harganya jauh lebih mahal,
maka bukan hal yang tidak mungkin masyarakat mulai melirik kompor listrik. Di sisi lain
Pertamina bisa lebih mendapatkan keuntungan yang berlimpah dari pembelian Bright Gas yang
jadi pilihan terakhir pengguna LPG.

Lantas, mengapa pemerintah bersikukuh untuk meningkatkan penggunaan listrik
ketimbang LPG? Hal ini diakibatkan karena kerugian yang terus ditanggung PLN akibat
Megaproyek Pembangkit 35.000 MW yang dicetuskan pemerintah sejak tahun 2015. Dari 970
unit pembangkit listrik yang dibangun, 539 unit diantaranya milik perusahaan listrik swasta.
Sedangkan PLN memiliki kewajiban untuk melakukan pembelian 70-80 persen produksi listrik
swasta, yang biasa disebut dengan skema take or pay (ToP). Masalahnya tingkat penjualan
listrik ke masyarakat cenderung datar, sehingga selalu ada kelebihan sekitar 28 ribu—30 ribu
GWh ketimbang total listrik yang terjual. Oleh karena itu berbagai kebijakan untuk mendorong
penggunaan listrik dikeluarkan agar over supply listrik PLN dapat terserap.

Di sisi lain, berdasarkan data 2022 dan 2023 permintaan LPG demkian besar, mencapai 8
juta ton. Sementara produksi LPG Indonesia, hanya sekitar 2 juta ton, yang berarti defisit 6 juta
ton, dan yang defisit ini kemudian ditutup dengan impor. Namun, kelangkaan saat ini bukan
hanya karena faktor alam, namun bermula dari kebijakan konversi minyak tanah ke LPG pada

2007. Pada tahun itu, produksi LPG sudah mengalami beberapa kali penurunan yang sangat
drastis, tetapi di tahun itu pula ada kebijakan konversi minyak tanah ke LPG. Padahal selain LPG
Indonesia memiliki Liquifiid Natural Gas (LNG) yang produksinya terus meningkat, namun malah
di ekspor secara besar-besaran dengan dalih terlalu high cost kalau diberikan ke masyarakat
bawah. Padahal LNG lebih bersih emisinya dan lebih aman penggunaannya.

Begitulah jika negara menganut ideologi kapitalisme. Untung dan rugi menjadi faktor
utama dalam menentukan suatu kebijakan, bukan kepentingan dan kemaslahatan rakyat.
Bahkan rakyat pun dijadikan sebagai sasaran pasar. Padahal sudah selayaknya negara
memberikan pelayanan dan pengurusan terhadap rakyatnya. Bagaikan seorang ibu yang tak
hitung-hitungan dalam menyediakan setiap keperluan anaknya.

Berbeda dengan Islam, Islam menetapkan agar negara berkewajiban menyediakan
kebutuhan pokok rakyatnya, mulai dari sandang, pangan dan papan, termasuk di dalamnya
kebutuhan terhadap energi. Disisi lain, sistem ekonomi islam meniscayakan ketersediaannya
untuk semua rakyat, dengan harga murah atau gratis, karena Islam mengharuskan pengelolaan
SDA oleh negara. Setiap keuntungan dalam pengelolaannya akan dikembalikan kepada rakyat
dalam bentuk pelayanan maupun pembagunan berbagai kepentingan umum. Negara haram
hukumnya menjual berbagai hasil SDA, karena pada asalnya itu adalah milik umum, bukan milik
negara.

Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia dengan potensi umat muslim terbesar di
dunia, dan SDA yang penuh keberlimpahan menjadi negara yang mempunya visi kemandirian
energi. Namun, visi ini tidak akan pernah terwujud selama negeri ini mengusung kapitalisme
sebagai ideologinya. Butuh peraturan yang visioner dan sempurna dari Yang Maha Sempurna
untuk mewujudkannya. Maka, Islam adalah jawabannya.

Wallohu’alambishowab.

Iklan