counter create hit MENJADI MULIA DENGAN BEKERJA

Iklan

Iklan

,

Iklan

MENJADI MULIA DENGAN BEKERJA

Faizal Angga Felani
23 Jul 2023, 21:54 WIB Last Updated 2023-07-23T14:54:35Z
Artikel


MENJADI MULIA DENGAN BEKERJA

Oleh : Bunda Haifa

 

Dari banyak segi, umat Islam dan ke-Islamannya seringkali mendapat label negatif. Salah satu contohnya pada hal etos kerja. Kita seringkali dinilai oleh umat lain sebagai umat yang pemalas dan dari segi ekonomi di bawah mereka. Hal ini diperparah dengan makin banyaknya peminta-minta yang menggunakan simbol-simbol ke-Islaman, seperti peci dan jilbab. Ketika peristiwa pembagian hewan qurban dan zakat fitrah yang menelan korban, suka atau tidak suka ada labeling negatif pada umat ini. Mental peminta-minta, mental gratisan, dan seterusnya. 


Kelakuan beberapa pemeluk suatu agama seringkali dikaitkan dengan agama yang dianut. Ketika sebagian umat Islam di negara kita yang sebut saja pemalas, Islam dihakimi sebagai agama yang tidak mengajarkan bekerja. Padahal kelakukan pemeluk suatu agama, tidak selalu merupakan representasi dari ajaran agama yang dianutnya, terlebih Islam.


Kita Wajib Bekerja


Islam agama yang sempurna dan universal. Tidak ada urusan yang tidak diurus oleh Islam, termasuk mengenai bekerja. Bekerja bukanlah urusan ringan karena menyangkut harkat dan martabat seorang manusia, maka tidak sedikit ayat dan hadist yang membahasnya. Bekerja sebagai sebuah urusan yang wajib dijalankan oleh orang yang mengaku muslim. 


Perintah bekerja di dalam Al Qur’an sangat jelas terdapat pada surat Al An'am ayat 135, “Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu. Sesungguhnya aku pun berbuat pula. Kelak kamu akan mengetahui siapakah diantara kita yang akan memperoleh hasil yang baik di dunia ini. Sesungguhnya orang-orang yang dzalim itu tidak akan mendapatkan keberuntungan.” Perintah wajib bekerja juga terdapat dalam surat Nuh ayat 19 hingga ayat 20 dan surat Jumu'ah ayat 10. 


Hadits ini menambah kekuatan betapa bekerja itu memang kewajiban bagi setiap kita pemeluk agama Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Mencari rezeki yang halal itu wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti  shalat, puasa, dan sebagainya).” (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi). Dan masih banyak hadits yang mengisyaratkan agar kita memeliki etos kerja yang maksimal.


Mengingat pentingnya bekerja, maka Allah membedakan kedudukan bagi orang yang bekerja dan yang malas bekerja, seperti peminta-minta. Orang yang bekerja dipandang mulia, sebaliknya malas bekerja dipandang hina. Balasan bagi yang rajin bekerja adalah surga, sedangkan balasan bagi yang malas bekerja adalah adzab pedih di neraka. 


Ada kisah seorang sahabat yang memberikan pelajaran kepada kita bahwa  rajin bekerja itu berbalas surga. Saat itu ada seorang sahabat yang tangannya sangat kasar karena membelah batu dan oleh Rasulullah SAW tangan tersebut dicium sambil berkata, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya.” 


Kisah lain yang menunjukan betapa mulianya kedudukan orang bekerja. Suatu ketika Rasulullah SAW sedang berjalan dengan beberapa sahabat. Salah seorang sahabat seperti menyayangkan kegiatan seorang pemuda yang tampak rajin dan semangat bekerja. “Seandaikan semangat seperti itu untuk berjihad di jalan Allah,” kata seorang sahabat tersebut. 


Rasulullah SAW langsung menjawab, “Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil ,maka itu fi sabilillah, kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia, maka itu fi sabilillah, kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, maka itu fi sabilillah.” (HR. Thabrani) 


Berdasarkan kisah tersebut, orang yang bekerja disebut sebagai orang yang berada di jalan Allah, meskipun bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri. Kalau mau dijabarkan semua hadist yang menunjukan betapa mulianya kedudukan orang yang bekerja, akan sangat panjang sekali. Sekiranya beberapa kisah di atas dapat mengingatkan kita bahwa Islam itu agama yang mengajarkan pemeluknya untuk rajin bekerja agar kedudukan mulia. 


Bagaimana dengan peminta-minta padahal ia masih mampu mengusahakannya sendiri? Seperti banyak yang kita lihat saat ini, pengemis gadungan semakin banyak. Disebut pengemis gadungan karena sebenarnya mereka masih mampu bekerja untuk mendapatkan penghasilan, namun karena kemalasan atau enggan bekerja mereka memilih untuk menjadi pengemis. Maraknya pengemis gadungan disebabkan penghasilan mereka sangat fantastis, padahal mereka hanya pura-pura merintih ,berpakaian lusuh, dan tentunya menghilangkan rasa malu. 


Melihat mudahnya mendapatkan penghasilan tersebut, banyak orang berbondong-bondong menjadi pengemis.  Memang sekilas tampak enaknya karena penghasilan besar. Namun, satu hal yang harus disadari, kedudukan mereka sangat hina di hadapan Allah. Islam agama yang bermartabat, maka sangat mewajibkan pemeluknya untuk bekerja daripada meminta minta. Kehinaan para peminta-minta bisa ditemui dalam banyak hadist.  Tentunya meminta-minta untuk kepentingan pribadi, padahal masih bisa bekerja.  


Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim ini merupakan salah satu peringatan bagi kita agar tidak menjadi peminta-minta, “Terus menerus seseorang itu suka meminta-minta kepada orang lain hingga pada hari kiamat dia datang dalam keadaan di wajahnya tidak ada sepotong daging pun.” Dalam hadist lain meminta-minta disebut sebagai memakan bara api dan mencakar wajahnya sendiri. 


Peminta-minta ini bukan saja dalam wujud  pengemis yang biasa kita saksikan di jalan-jalan, namun dalam pergaulan sehari hari tidak sedikit kita banyak menemui teman yang bermental seperti itu. Contoh yang sering bisa kita lihat adalah meminta bonus ketika berbelanja, meminta diskon dengan memaksa, atau meminta oleh-oleh ketika teman bepergian. Tampak sepele, namun itu sebenarnya kita sedang merendahkan derajat diri kita sendiri. Bonus atau diskon boleh saja diterima, namun memaksa penjual untuk memberikannya bukanlah sikap yang bijak. 


Suatu hari Rasulullah SAW memberikan harta kepada Umar bin Khaththab ra. Umar berkata, “Berikanlah kepada orang yang lebih fakir dariku,” namun Rasulullah SAW tetap memberikan harta tersebut kepada Umar seraya bersabda, “Ambillah. Dan bila kamu diberi suatu harta, sedangkan kamu tidak mengidam-idamkan dan tidak pula meminta-mintanya, maka ambillah. Dan jika tidak demikian maka janganlah kamu mengejarnya dengan hawa nafsumu.” (HR. Bukhari Muslim). 


Kisah tersebut menjelaskan bahwa kita diperbolehkan menerima pemberian dari orang lain tanpa meminta. Jadi kita harus membedakan mana meminta minta dan mana pemberian. 


Meminta pun sebenarnya dibolehkan, namun syarat dan ketentuan berlaku. “Wahai Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: Seseorang yang menanggung beban (hutang orang lain, diyat/denda), ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti. Dan seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup. Dan seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”. (HR.Muslim) 


Jadi syarat dan ketentuan diperbolehkannya meminta menurut hadist tersebut adalah (1) Mempunyai beban untuk membayar denda atau hutang orang lain hingga selesai dan jika sudah selesai maka ia harus berhenti meminta sumbangan. (2) Jika tertimpa musibah ,seperti kebakaran, kebanjiran yang menyebabkan seluruh hartanya habis. Namun bila sudah mendapatkan sandaran hidup atau sudah bisa berusaha mencari sendiri, maka berhentilah meminta-minta sumbangan. (3) Bila ditimpa kemiskinan dan kesengsaraan dengan minimal ada tiga saksi yang menyaksikan kemiskinan dan kesengsaraan tersebut. Namun bila sudah cukup maka berhentilah meminta minta.


Para Nabi dan Rasul yang merupakan suri tauladan bagi umatnya juga tidak ada yang mencontohkan untuk menjadi pemalas. Rajin bekerja sudah merupakan tradisi para utusan Allah. Rasulullah SAW ketika kecil sudah menggembala kambing sebagaimana nabi-nabi yang lain. Pada usia 12 tahun, beliau sudah ikut berdagang, dan ketika dewasa beliau menjadi kepercayaan saudagar kaya rasa, Khadijah. 


Mari mencontoh tradisi para nabi yaitu memiliki etos kerja maksimal dan menghindari sikap meminta-minta kepada orang lain karena tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Mari menjaga harkat dan martabat diri, serta agama Islam dengan bekerja keras. Berkerjalah agar engkau menjadi mulia!

Iklan