counter create hit Menguak Misteri Tembok Al-A’raf

Iklan

Iklan

,

Iklan

Menguak Misteri Tembok Al-A’raf

Faizal Angga Felani
18 Jul 2023, 06:27 WIB Last Updated 2023-07-17T23:27:15Z
ARTIKEL


Menguak Misteri Tembok Al-A’raf


Penentuan nasib manusia untuk menjadi penghuni surga atau neraka bermula dari

yaumul hisab; hari diperhitungkannya segala amal, dan yaumul mizan; hari

ditimbangnya amal baik dan buruk manusia selama di dunia. Surga dan neraka akan

ditentukan dari hasil timbangan tersebut. Al-mizan (timbangan) akan memberikan

jawaban atas pertanyaan; apakah amalan seorang hamba yang lebih berat, amal

kebaikan ataukah amal keburukan?


Ahlus Sunnah meyakini tentang ditegakkannya al-mizan dan dibukanya catatan-catatan

amal. Menurut bahasa, mizan berarti alat yang digunakan untuk mengukur sesuatu

berdasarkan berat dan ringan (neraca). Sedangkan menurut istilah, mizan adalah

sesuatu yang Allah Azza wa Jalla letakkan pada hari Kiamat untuk menimbang amalan

hamba-Nya, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh al-Qur`an, Sunnah, dan ijma’

salafush shalih. [lihat Syarah Lum’atul I’tiqad hal. 120]


“Barangsiapa berat timbangan (kebaikan)-nya, maka mereka itulah orang-orang yang

beruntung. Barangsiapa ringan timbangan (kebaikan)-nya, maka mereka itulah orang-

orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahannam.” (QS. Al-

Mukminun: 102-103)


Ternyata di sisi lain, ada pihak yang sedang harap-harap cemas, yakni mereka yang

kelak akan menempati suatu tempat tinggi yang lokasinya berada di antara surga dan

neraka. Ya, inilah tempat yang dimaksud dengan tembok al-A’raf.


A’raf adalah jama’ dari urf yang secara bahasa berarti tempat yang tinggi. Allah SWT pun

menempatkan nama Al A’raf sebagai nama surat ketujuh dalam Al-Qur’an. Namun, kali

ini pembahasan akan mengerucut pada misteri tembok dan Ashhabul (penghuni) A’raf.

Al-A’raf diterangkan langsung oleh Allah SWT, sebagaimana yang tertuang di dalam

firman-Nya,


“Dan di antara keduanya (surga dan neraka) ada batas; dan di atas al-A’raf itu ada

orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda

mereka. Dan mereka menyeru penduduk surga, “Salaamun ‘alaikum” mereka belum lagi

memasukinya, sedang mereka ingin segera (memasukinya). Ðan apabila pandangan

mereka dialihkan ke arah penghuni neraka, mereka berkata: “Ya Tuhan kami, janganlah

Engkau tempatkan kami bersama-sama orang-orang yang zalim itu.” (QS. Al-A’raf: 46-

47)


Tembok al-A’raf merupakan tembok tinggi, pembatas antara surga dan neraka. Surat

dan ayat yang lain menyiratkan tentang tembok ini, tetapi dengan menggunakan kata

dinding. Seperti di dalam firman-Nya, “... Lalu diadakan di antara mereka dinding yang

mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada

siksa.”(QS. Al-Hadid: 13)


Adapun penghuni al A’raf disebut ashhabul A’raf. Siapakah gerangan? Yakni mereka

yang timbangan amal baik dan amal buruknya seimbang. Seperti yang dikatakan Ibnu

Mas’ud, “Barang siapa yang kebaikan dan keburukannya seimbang maka ia adalah

ashhabul A’raf.”


Berlaku untuk siapa saja? Teruntuk seluruh umat manusia. Sebagaimana yang

disebutkan Ibnu Jauzi di dalam tafsirnya, “Jumhur Ulama telah sepakat bahwa ashhabul

A’raf adalah dari Bani Adam semuanya, bukan khusus bagi Umat Nabi Muhammad SAW

saja.”


Para Ashhabul A’raf pun mengenali ciri-ciri penghuni surga dan neraka, “pada hari yang

di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram...” (QS.

Ali Imran: 106)


Ya! Untuk sementara waktu nasib mereka terkatung-katung, tidak tentu arah. Mereka

hanya bisa memandangi kenikmatan surga dan para penghuni di dalamnya. Begitupun

saat pandangan mereka dialihkan ke neraka, hanya doa yang bisa terpanjat agar

terhindar dari siksa pedihnya.


Bagaimana sesungguhnya nasib ashhabul A’raf kelak? Pada akhirnya mereka masuk

surga, “...Masuklah ke dalam surga, tidak ada kekhawatiran terhadapmu dan tidak (pula)

kamu bersedih hati.”(QS. Al-A’raf: 49) Dengan cara apa? Yaitu setelah mendapat

syafa’at dari Nabi.


Imam Ath-Thabarani meriwayatkan, bahwa Ibnu Abbas ra. berkata, “Orang-orang yang

berlomba-lomba dalam kebajikan memasuki surga dengan tanpa hisab, orang yang

pertengahan memasuki surga dengan rahmat Allah dan juga orang yang menzalimi diri

mereka sendiri, adapun ashhabul A’raf mereka masuk surga dengan syafa’at dari Nabi

Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam”.


Sekarang, adakah perbuatan yang bisa menambah timbangan amal di akhirat kelak?

Jawabnya ada, di antaranya seperti yang dijelaskan di beberapa hadist Abu Hurairah ra,

ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Dua kalimat yang ringan untuk diucapkan, tetapi

berat dalam timbangan dan disukai oleh Allah Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), yaitu:

‘Subhaanallahi wa bihamdihi’ (Maha Suci Allah Tuhan dengan segala pujian-Nya) dan

‘Subhaanallahil ‘azhiim’ (Maha Suci Allah Tuhan Yang Maha Agung).” (HR. Bukhari No.

6682 dan Muslim No. 2694)


Dari Abu Malik al-Harits bin ‘Ashim al-Asy’ari ra, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda,

“Bersuci adalah sebagian dari iman, alhamdulillah (segala puji bagi Allah) memenuhi

timbangan. Subhanallah walhamdulillah, keduanya memenuhi antara langit dan bumi;

shalat adalah cahaya; sedekah adalah petunjuk; sabar adalah sinar, dan Al-Qur`an adalah

hujjah bagimu. Setiap manusia melakukan perbuatan: ada yang menjual dirinya

kemudian memerdekakannya atau membinasakannya,” (HR. Muslim No. 223)


Disebutkan juga di dalam hadits riwayat Muslim, an-Nasa`i, dan Ibnu Majah, bahwa:,

“Tasbih dan takbir memenuhi langit dan bumi.” Ditegaskan pula dalam hadits Ali bin Abi

Thalib ra, Abu Hurairah ra, Abdullah bin ‘Amr ra, dan seorang dari Bani Sulaim bahwa

”Tasbih adalah separuh timbangan dan alhamdulillah memenuhi timbangan.”


Berkaca dari hadits-hadits di atas, kalimat dzikir seperti subhanallah, alhamdulillah, laa

ilaaha illallah dan allahu akbar ternyata akan menambah juga timbangan kebaikan.

Dzikir-dzikir tersebut merupakan dzikir mutlak, artinya tidak ditentukan oleh syara’ (Al

Qur’an dan As Sunnah) kapan waktunya dibaca, sehingga siapapun boleh membaca

dzikir tersebut setiap waktu. Berbeda dengan dzikir muqayyad, yaitu jenis dzikir yang

sudah ditentukan oleh syara’ kapan waktu dibacanya, seperti dzikir sesudah shalat,

dzikir masuk dan keluar masjid, dzikir memakai pakaian dan melepasnya, dan dzikir-

dzikir tertentu yang waktu dibacanya sudah ditetapkan.


“Hai orang-orang yang beriman! Berdzikirlah (mengingat) kepada Allah dengan dzikir

yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.”

(QS. Al-Ahzab: 41-42)


Semoga timbangan kita lebih berat kepada kebaikan, sehingga bisa terhindar dari

tembok Al-A’raf dan bersegera dalam mendapatkan kenikmatan surga. Salah satu

caranya dengan mendawamkan amalan yang dianggap ringan, namun dapat

memperberat timbangan kebaikan kelak di yaumil mizan. Diantaranya, dengan

senantiasa melantunkan dzikir tasbih, tahmid, tahlil dan takbir dalam setiap keadaan.

Aamiin

Iklan