counter create hit Mendahulukan Adab Daripada Ilmu

Iklan

Iklan

,

Iklan

Mendahulukan Adab Daripada Ilmu

Administrator
8 Jun 2023, 10:08 WIB Last Updated 2023-06-08T03:08:38Z


MENDAHULUKAN ADAB DARIPADA ILMU

Dahulu,  saya mengenal seorang anak yang memang pintar dari segi akademis. Anak tersebut bersekolah di sebuah sekolah Islam swasta yang mahal. Namun yang membuat saya heran, dia begitu kasar dengan pembantunya, bahkan kepada orang tuanya. Menyuruh pembantunya dengan kalimat tidak sopan, tidak mengawali dengan kata tolong, apalagi berterima kasih sesudah pembantu memenuhi kebutuhannya.

Lalu berbagai kenyataan menyedihkan mengenai kelakuan anak-anak seperti menjadi berita harian dalam kehidupan kita. Anak sekolah yang tawuran, anak membunuh orang tua, melawan guru hingga mempolisikannya hanya karena ia dimarahi oleh guru tersebut adalah beberapa contoh berita miris yang membuat kita mengelus dada dan bertanya, kenapa anak-anak ini?

Suatu hari saya mengikuti sebuah kajian. Disampaikan oleh seorang ustadz bahwa terpenting bagi anak-anak adalah dikenalkan adab atau akhlak terlebih dahulu sebelum memperkenal suatu disiplin ilmu. Jika adab sudah dikuasai, maka seorang anak akan mudah menyerap ilmu yang disampaikan.

Dari kajian tersebut saya menghubungkan kelakukan murid saya yang pintar tersebut dan beberapa perilaku miring kebanyakan anak-anak sekarang  dengan sistem pendidikan kita. Saya menganggu-angguk mengerti, betapa kita ini memang lebih banyak diarahkan untuk pintar secara akademis saja daripada mengarahkan anak agar punya manner, adab atau akhlak yang baik.

Teringat dua dekade silam, masa saya mendapat hidayah dan haus akan ilmu agama. Saya hanya mengandalkan guru agama saya di sekolah. Maklum saya tinggal di kampung yang tidak mudah ikut kajian atau sejenisnya, lagi pula saat itu tidak semudah saat ini untuk belajar berbagai hal, termasuk ilmu agama. Saya senang bukan kepalang jika saatnya pelajaran agama. Bisa dibilang saya nyaris tak bergerak ketika pelajaran agama saking antusiasnya.

Sayangnya, pelajaran agama hanya 2 jam selama satu minggu. Lebih sebentar dibanding dengan jadwal matematika atau pelajaran lainnya. Saya baru  menyadari bahwa hal tersebut sebagai sebuah ketimpangan, ketika saya paham bahwa akar masalah kelakuan miring anak-anak zaman sekarang adalah rusaknya moral, minimnya adab dan akhlak.

Lalu saya banyak membaca referensi mengenai adab, akhlak, dan ilmu. Tibalah pada satu bacaan bahwa di Jepang yang penduduknya terkenal sangat disiplin dan pekerja keras, dalam sistem pendidikannya lebih dahulu membina manner dan karakter daripada kemampuan akademis anak didik. Rupanya pemerintah Jepang menerapkan anjuran para kaum salaf yaitu agar mengajarkan adab terlebih dahulu sebelum mengajarkan suatu ilmu.

Akhirnya saya memilihkan sekolah untuk anak yang mengutamakan adab terlebih dahulu karena sebagai ibu, saya sudah sangat ngeri dengan kondisi moral anak-anak sekarang.
Saat ini untuk menjadi cerdas dan pintar sangat mudah apalagi yang tinggal di perkotaan di mana fasilitas, sarana dan prasarana  memadai.

Tetapi,  bila tidak ada adab yang membentengi, maka kepintaran seseorang bisa menjerumuskannya. Seseorang bisa merendahkan orang lain karena dirinya merasa lebih pintar. Orang mungkin saja mudah untuk menjadi panghafal Al Qu'ran, tetapi sangat ironis kalau ia merendahkan orang lain yang belum hafal Al Qur'an.

Kejadian yang sangat ironis juga banyak dijumpai dalam debat-debat di media sosial. Saya perhatikan mereka sangat cerdas, fasih menukil dalil, namun selalu ada pernyataan yang terkesan mendeskreditkan pihak lain, sehingga yang terjadi adalah permusuhan di antara mereka.

Andaikan mereka paham bagaimana adab berdiskusi, adab berbeda pendapat, tentu debat kusir yang mengarah pada permusuhan tidak akan terjadi. Ulama-ulama salaf juga banyak berseberangan pendapat, namun mereka tetap bersahabat. Seperti kutipan dari Imam syafi'i di sebuah tulisan, “Wahai Abu Musa (Yunus Ash Shadafiy), bukankah kita tetap bersahabat meski kita tidak sepakat dalam suatu masalah?”

Jika setiap perbedaan melahirkan saling cela, saling hina, dan permusuhan maka kita akan saling bermusuhan satu sama lain, bisa jadi tidak ada kedamaian di dunia ini.

Jadi pintar secara akademis saja belumlah cukup, harus ada adab yang mengimbanginya agar manusia tidak terjerumus. Seorang ulama salaf  yang bernama Ibnu Mubarak berkata, “Kami mempelajari masalah adab selama 30 tahun dan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.” Dari kalimat tersebut, kita bisa renungkan betapa sangat pentingnya adab.

Seorang pemimpin madzab besar yaitu Imam Abu Hanifah, lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama yang di dalamnya beliau bisa belajar mengenai adab dan akhlak luhur daripada menguasai beberapa bab fikih. Ketika berangkat belajar fikih, Imam Malik mendapatkan pesan dari ibunya bahwa ia harus mempelajari adab sebelum mengambil ilmunya. Karena kepahaman mereka tentang adab, maka para ulama salaf tetap rukun dan tetap bersatu meskipun berbeda pendapat.

Bandingkan dengan fenomena di media sosial saat ini. Ilmu kita jauh lebih sedikit dibanding dengan para ulama tersebut, tapi seolah-olah semua hal yang kita bahas menjadi pemicu permusuhan hanya karena kita  berbeda pendapat, berbeda pilihan. Itu semua karena kita memang kurang asupan adab dan akhlak yang mulia.

Islam agama yang universal, maka tidak ada satu urusan pun, sekecil apapun itu yang tidak dalam aturan Islam. Mulai dari urusan ke kamar mandi, makan, tidur, hingga urusan berat seperti memilih pemimpin, semua diatur dalam Islam. Dengan demikian semua urusan di dunia ini ada adabnya. Maka salah satu pentingnya memahami adab adalah agar semua berjalan sebagaimana mestinya dan sebagaimana seharusnya.

Sebagai orangtua, guru atau sebagai apapun, mari tanamkan adab dan akhlak kepada putra-putri kita. Degradasi moral generasi bangsa ini sudah sangat mengerikan, maka anak-anak kita jangan sampai kekurangan asupan adab dan akhlak yang luhur.

Kita juga harus menjadi contoh dalam realisasi adab itu sendiri, bukan sekedar memberi contoh. Sejarah sudah membuktikan bahwa mereka yang mengutamakan adab tetap bisa menjadi orang besar yang namanya tetap disebut hingga sekarang. Wallahu a’lam.


Penulis : A. Yahya Hastuti/ Bunda Haifa
dari berbagai sumber dan pengalaman

Iklan